JEMBATAN BARELANG
Jembatan
Barelang (singkatan dari BAtam, REmpang, dan gaLANG)
adalah nama jembatan yang menghubungkan pulau-pulau yaitu Pulau
Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau
Galang dan Pulau Galang Baru. Masyarakat setempat menyebutnya
"Jembatan Barelang", namun ada juga yang menyebutnya "Jembatan
Habibie", karena dia yang memprakarsai pembangunan jembatan itu untuk
menfasilitasi ketiga pulau tersebut yang dirancang untuk dikembangkan menjadi
wilayah industri di Kepulauan Riau. Ketiga pulau itu sekarang
termasuk Provinsi Kepulauan Riau.
Nama Jembatan Barelang
yang di berikan oleh masyarakat setempat ternyata lebih popular ketimbang nama
aslinya yaitu Jembatan Fisabilillah. Nama “Barelang” oleh masyarakat diambil
dari nama-nama pulau yang dihubungkan oleh jembatan tersebut; Batam, Rempang,
dan Galang. Jembatan Barelang memiliki nama lain, Jembatan Habibie atau
Jembatan satu.
Jembatan Barelang
merupakan pilot project berteknologi tinggi yang melibatkan
ratusan insinyur Indonesia tanpa campur tangan dari tenaga ahli luar negeri.
Dibangun untuk memperluas wilayah kerja Otorita Batam (OB) sebagai regulator
daerah industri Pulau Batam. Pembangun jembatan Trans Barelang telah menyedot
anggaran Otorita Batam (OB) sebesar Rp 400 Miliar yang dibangun dalam masa enam
tahun (1992 – 1998).Jembatan tersebut bertujuan untuk memudahkan akses dari pulau batam ke
pulau yang ada di sekitarnya karena di perkirakan batam akan tumbuh menjadi
kota yang sesak oleh kegiatan industri seperti layaknya Singapore.Enam buah jembatan megah ini merupakan proyek
vital sebagai penghubung jalur Trans Barelang yang membentang sepanjang 54
kilometer.
Lokasi Jembatan Barelang terletak sekitar 20
kilometer dari pusat kota Batam, provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.Jembatan tersebut menjadi penghubung diantara 6 pulau yang
ada di sekitar batam .Rempang yang luas lahannya sekitar 16.583 hektar bakal di
tata sedemikian rupa dengan pembagian sekitar 217 hektar disiapkan untuk
kawasan industri, permukiman 656.59 hektar, pariwisata seluas 447,14 hektar,
fasilitas umum 127,82 hektar, jasa 181,04 hektar dan pertanian 1.198,57 hektar.
Keenam buah jembatan Barelang tersebut
terdiri dari:
1. Jembatan Tengku Fisabilillah (jembatan
I), jembatan yang terbesar
2. Jembatan Nara Singa (jembatan II)
3. Jembatan Raja Ali Haji (jembatan III)
4. Jembatan Sultan Zainal
Abidin (jembatan IV)
5. Jembatan Tuanku Tambusai (jembatan V)
6. Jembatan Raja Kecik (jembatan VI)
Biaya
yang dihabiskan ini tampaknya sangat sebanding jika dilihat dari kemegahan
jembatan kokoh ini. Jembatan dengan total panjang 2.264 meter ini masing-masing
diberi nama raja yang pernah berkuasa pada zaman Kerajaan Melayu Riau pada abad
15-18 Masehi.
1.
Jembatan Tengku Fisabilillah merupakan jembatan yang paling dikenal oleh
masyarakat. Jembatan ini menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton dan
memiliki lebar tinggi 642 x 350 x 38 meter. Ada sumber yang mengatakan bahwa
struktur dan model jembatan ini mirip dengan golden gate-nya San Fransisco USA
tampaknya benar sekali.
2.
Jembatan Narasinga yang menghubungkan Pulau Tonton dengan Pulau Nipah,
berbentuk lurus tanpa lengkungan dan memiliki panjang lebar tinggi 420 x 160 x
15 meter. Tidak kalah megahnya dengan Jembatan sebelumnya.
3.
Jembatan Ali Haji yang menghubungkan Pulau Nipah dengan Pulau Setokok dan
memiliki panjang lebar tinggi 270 x 45 x 15 meter.
4.
Jembatan Sultan Zainal Abidin yang menghubungkan Pulau Setokok dengan Pulau
Rempang dan memiliki panjang lebar tinggi 365 x 145 x 16,5 meter.
5.
Jembatan Tuanku Tambusai yang menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Galang
dan memiliki panjang lebar tinggi 385 x 245 x 31 meter.
6.
Jembatan keenam atau yang terakhir bernama Jembatan Raja Kecil, menghubungkan
Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru dan memiliki panjang lebar tinggi 180 x
45 x 9,5 meter. Jembatan keenam ini sangat dikenal karena nilai sejarah dari
pulau yang dihubungkannya. Di Pulau Galang ini pernah dijadikan tempat
penampungan sedikitnya 250.000 pengungsi dari Vietnam pada tahun 1975-1996.
Bekas tempat pengungsian yang berada di Desa Sijantung, Kecamatan Galang ini
masih menyisakan benda-benda atau bangunan-bangunan peninggalan para pengungsi.
Sejarah
Singkat
Derasnya arus investasi ke Pulau Batam mencapai puncaknya pada
akhir 1991. Kala itu pengajuan permohonan investasi baru hanya dapat dipenuhi
sekitar 8% dari 1.500 perusahaan yang sedang menunggu di pintu masuk.
Fenomena ini membuktikan teori balon yang dicetuskan oleh BJ Habibie selaku
aktor utama pengembangan kawasan industri Pulau Batam. Batam yang dianalogikan
seperti balon mulai kepenuhan, sehingga pemerintah perlu bersiap-siap untuk
meniup balon berikutnya.
Bersama Ir Gunawan Hadisusilo yang kala itu menjabat sebagai
Asisten 1 Bidang Umum Ketua otorita Batam dan beberapa staf lainnya, Bj Habibie
berkeliling menelusuri gugusan Kepulauan Batam, Rempang dan Galang (Barelang)
dengan menggunakan helikopter. Dengan telunjuknya, Habibie menarik garis untuk
menghubungkan pulau Batam hingga ke pulau Galang Baru ke arah Selatan. Ide
untuk membuat jembatan penghubung plus jalan trans Trans Barelang kemudian
tercetus.
Ir Gunawan yang ditunjuk sebagai ketua tim pembangunan jembatan
Barelang segera menerjemahkan konsep Bj Habibie dengan menyusun desain dan
kerangka teknisnya.Sebagai tindak lanjut pengembangan lingkungan kerja Daerah
Industri Pulau Batam ke wilayah Rempang dan Galang, maka dibentuklah tim kerja.
Yaitu pembuatan detail jalan dan jembatan ditunjuk tim LAPl-ITB sementara untuk
pembuatan Master Plan Barelang ditunjuk tim LEMTEK-UI, dan untuk evaluasi
dampak sosial dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM). Proyek pembuatan
enam jembatan antarpulau yang dibidani oleh Ir Gunawan ini merupakan proyek
jembatan pertama kali yang dilaksanakan di Indonesia, khususnya dalam hal
teknologi, apalagi mulai dari desain, pelaksanaan dan pengawasan dilaksanakan
oleh putera-puteri Indonesia dengan menelan biaya sebesar Rp292 miliar.
Keenam jembatan ini dimulai pembangunannya pada oktober 1993 dan selesai secara bertahap pada tahun 1996 hingga 1998. Ir Gunawan sebagai salah satu arsiteknya, telah membuktikan kemampuannya dalam pengerjaan jembatan ini hingga rampung.
Keenam jembatan ini dimulai pembangunannya pada oktober 1993 dan selesai secara bertahap pada tahun 1996 hingga 1998. Ir Gunawan sebagai salah satu arsiteknya, telah membuktikan kemampuannya dalam pengerjaan jembatan ini hingga rampung.
Pembangunan Jembatan Barelang |
Pembangunan Jembatan Barelang |
Pembangunan Jembatan Barelang
VIDEO DOKUMENTASI PEMBANGUNAN
|
https://www.youtube.com/watch?v=jbHgkz4XOD8
Konstruksi Jembatan Barelang, khususnya
jembatan I yang diberi nama Fisabilillah, dirancang tahan terhadap
tiupan angin kencang dan berbagai cuaca. ”Kecuali terjadi gempa besar,” Dari
aspek desain, jembatan dibangun menggunakan teknologi yang akurat. Jembatan
juga mampu memikul beban hidup, seperti pergerakan kendaraan bermotor di atasnya.
Jembatan juga dirancang untuk mampu dilewati kendaraan dengan tekanan gandar
seberat 20 ton. Adapun kebanyakan kendaraan memiliki 2 hingga 3 gandar sehingga
tidak menimbulkan ancaman karena masih ada live load 10
persen.
Beban mati (dead load) yang merupakan beban paling berat pada jembatan Balerang pun sudah diperhitungkan mampu ditahan. Beban mati adalah badan jembatan jenis cable stayed dengan panjang total 642 meter, panjang bentang utama 350 meter, dan ruang bebas vertikal 38 meter.Jembatan dengan tinggi pylon 119,744 meter (elevasi 123,744), menurut Istono, telah diuji kekuatannya untuk menghindari kekencangan angin dua juta cycle selama tiga bulan.
Beban mati (dead load) yang merupakan beban paling berat pada jembatan Balerang pun sudah diperhitungkan mampu ditahan. Beban mati adalah badan jembatan jenis cable stayed dengan panjang total 642 meter, panjang bentang utama 350 meter, dan ruang bebas vertikal 38 meter.Jembatan dengan tinggi pylon 119,744 meter (elevasi 123,744), menurut Istono, telah diuji kekuatannya untuk menghindari kekencangan angin dua juta cycle selama tiga bulan.
Diselesaikan
|
1997
|
Status
|
Digunakan
|
Struktur
|
Jembatan
Lengkung
|
Kegunaan
|
Jalan
Raya
|
Metode
Konstruksi
|
Konstruksi cantilever dengan
menggunakan kabel sementara
|
Lokasi
|
Pulau
Rempang, Kepulauan Riau
Pulau Galang, Kepulauan Riau
|
Informasi
Teknis
|
|
Total panjang
|
385 m
|
Bentangan
|
11 x 35 m
|
Ruang bebas bawah jembatan
|
27 m
|
Bentang Lengkung
|
245 m
|
Lebar dek
|
18 m
|
Material
|
Beton bertulang
|
Struktur
|
Haunched
girder
Box girder
|
Kegunaan
|
Jalan Raya
|
Metode Konstruksi
|
Metode balanced cantilever
|
Lokasi
|
Pulau Setoko, Kepulauan Riau
Pulau Rempang, Kepulauan Riau
|
Informasi
Teknis
|
|
Bentang Utama
|
145 m
|
Total Panjang
|
365 m
|
Ruang bebas bawah jembatan
|
15 m
|
Lebar dek
|
18 m
|
Material
|
Beton prastress
|
Struktur
|
Box
girder
|
Kegunaan
|
Jalan
Raya
|
Metode
Konstruksi
|
Konstruksi
segmental
|
Lokasi
|
Pulau
Nipah, Kepulauan Riau
Pulau Setoko, Kepulauan Riau
|
Informasi
Teknis
|
|
Bentang Utama
|
45 m
|
Total Panjang
|
270 m
|
Ruang bebas bawah jembatan
|
15 m
|
Lebar dek
|
18 m
|
Material
|
Beton prastress pracetak
|
Diselesaikan
|
1997
|
Status
|
Digunakan
|
Struktur
|
Box
girder
Haunched girder
|
Kegunaan
|
Jalan Raya
|
Metode Konstruksi
|
Konstruksi balanced
cantilver
|
Lokasi
|
Tonton, Kepulauan Riau
Pulau Nipah, Kepulauan Riau
|
Informasi
Teknis
|
|
Bentang Utama
|
160 m
|
Total Panjang
|
420 m
|
Ruang bebas bawah jembatan
|
18 m
|
Lebar dek
|
18 m
|
Material
|
Beton prastress
|
Dampak
terhadap Sosial dan Ekonomi
Sosial
Sebelum
adanya Jembatan barelang ini pulau diluar batam tidak dapat di jangkau
menggunakan kendaraan darat,sehingga sarana dan prasarana di luar pula ini
sangat terbelakang.Penduduk sussah mendapatkan kebutuhan serta pendidikan
Setelah
jembatan ini di bangun pulau-pulau di luar batam mudah di akses sehingga
masyarakatnya daoat mendapatkan kebutuhan dan pendidikan serta jembatan ini
juga di jadikan objek wisata bagi para wisatawan
Ekonomi
Dalam
proses selanjutnya fasilitas berbiaya mahal dan terkenal se-Indonesia ini dapat
dikatakan mengalami proses disorientasi. Habibie pun kecewa.Dalam beberapa kali
kunjungan ke Batam, teknokrat yang selalu berpikir futuristik ini tampak risau
dengan keadaan Batam kini yang dinilainya tidak terlihat istimewa sebagaimana
grand design semula yang telah ia rancang. Di mata Habibie, pembangunan Batam
tak lebih dari deretan ruko – ruko dengan sistem tata kota yang sepele. Dalam
visi Habibie, Batam didesain dengan sangat futuristik, mulai dari sistem
drainase, fasilitas publik, green area serta tata pemukiman yang terukur dan by
design, namun sekarang terlihat asal jadi. Begitu pula jika menilik ke tujuan
semula untuk membangun jembatan Trans Barelang yang setidaknya telah menyedot
anggaran Otorita Batam (OB) sebesar Rp 400 Miliar (mendekati Rp 1 triliun untuk
nilai sekarang) yang dibangun dalam masa tujuh tahun (1992 – 1998), maka
Habibie pantas mengurut dada.Jembatan Barelang (disebut juga Jembatan Habibie)
merupakan pilot project berteknologi tinggi yang melibatkan ratusan insinyur
Indonesia tanpa campur tangan ekspatriat atau tenaga ahli luar negeri. Dibangun
tentu saja untuk memperluas wilayah kerja OB sebagai regulator daerah industri
Pulau Batam dengan pertambahan luas 277 kilometer persegi. Hal ini adalah juga
sebagai manifestasi dari Teori Balon Habibie. Teori itu mengasumsikan,
Singapura yang luasnya sekitar 500 kilometer persegi itu akan memasuki era
jenuh. Ketika era itu tiba, Singapura tidak dapat lagi menampung investasi yang
masuk. Batam pun dibangun dan disiapkan untuk menampung aliran udara dari balon
investasi yang terus menggelembung. Seandainya Batam sudah penuh maka desakan
investasi dapat disalurkan ke pulau-pulau di sepanjang yang terhubung dengan
Jembatan Barelang (Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Setoko, Pulau Rempang,
Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru). Namun fakta yang terlihat hari ini
adalah, Jembatan Barelang tidak lebih dari tempat tamasya jagung bakar dan
tempat orang – orang pulau numpang menyeberang, sebuah kesia-siaan apalagi jika
dikaitkan dengan biaya perawatan keseluruhan jembatan yang mencapai Rp 5 miliar
per tahun. Kisruh soal status lahan serta tata cara kepemilikan lahan bagi dunia
investasi yang tampak seperti benang kusut menjadi bom waktu yang siap meledak
kapan saja. Pusat sengaja menahan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Rempang dan
Galang daripada harus menyerahkan kepada pemilik sahnya, Pemerintah Kota
Batam.Akibatnya investasi ratusan miliar yang ditanamkan di jembatan Barelang
tidak menampakkan benefit atau return on investment yang mendekati zero meski
sudah 20 tahun berlalu sejak mula dibangun. Jembatan Barelang adalah korban
ketersia-siaan investasi oleh OB akibat tarikan kepentingan dan ego sektoral
pihak-pihak berkepentingan baik di pusat maupun daerah. Jika saja benang kusut
ini segera dapat diluruskan atau ditempatkan sesuai pada tempatnya, maka status
quo untuk kepemilikan lahan investasi di Batam tidak perlu terjadi.Bukan saja
dana ratusan miliar yang menjadi soal tapi kita dapat mengkalkulasi dari nilai
potential lost akibat ratusan investor yang tertolak untuk menanamkan modalnya
di kawasan Rempang, Galang dan pulau-pulau lainnya. Jika saja OB dengan
cengkeraman pusatnya dapat melunak dan menghargai spirit Otonomi Daerah yang
kala itu diperjuangkan dengan idealisme dan semangat juang seorang walikota
seperti Nyat Kadir, maka pengelolaan lahan investasi di Barelang tidak perlu
memakan korban. Cukup sudah jika Batam sebagai mainland menjadi proyek besar
bagi para penjahat investasi yang “bersepakat” dengan sejumlah oknum di OB
dengan memanipulasi sistem pengalokasian lahan sedemikian rupa, OB pun
tampaknya ingin merebut peluang besar yang akan diperoleh di kawasan sepanjang
Trans Barelang. OB (baca: BP) dalam perkembangannya kemudian memang memperoleh
Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Rempang dan Galang namun statusnya kini sedang
menggantung di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat dengan alasan menunggu
hasil padu serasi dengan Kementerian Kehutanan. Sebenarnya sejak dulu problema
yang kontraprduktif dengan iklim investasi ini dapat diatasi jika saja OB dan
orang – orang pusat yang berkepentingan dapat mengikuti trend dan arus
reformasi yang berkembang karena bukan harga mati bahwa visi Habibie hanya
dapat diterjemahkan oleh OB semata. Maka amanat yang terkandung di dalam UU No.
53/1999 tentang Pembentukan Kota Batam dapat dimanifestasikan dengan memindah
kedudukan OB di bawah sub ordinat Pemerintah Kota Batam. Hal ini dapat dilakukan
dengan smooth tanpa perlu mereduksi para experts di tubuh OB, yang pemikiran
dan keahliannya telah terbukti dapat menyulap Batam menjadi metropolitan
seperti saat ini.
Komentar
Posting Komentar